1Suharto: $15-35 miliar (Indonesia, 1967-98)
Jend. Besar TNI Purn. Haji Moehammad Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun[1]) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[2] Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah US$15 milyar sampai US$35 milyar.[3] Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008. |
2.Ferdinand Marcos: $5-10 miliar (Filipina, 1972-86)
Ferdinand Edralín Marcos (lahir di Sarrat, Ilocos Norte, 11 September 1917 – meninggal di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, 28 September 1989 pada umur 72 tahun) adalah Presiden kesepuluh Filipina. Ia menjabat dari 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986. Marcos lulus dari Universitas Filipina dengan gelar cum laude pada tahun 1939. Ia turut berperang melawan Jepang dalam Perang Dunia II dan memperoleh penghargaan atas jasa-jasanya selama perang. Pada tahun 1954, ia menikah dengan Imelda Romuáldez yang kelak akan membantunya dalam kampanye presidennya. Ia kemudian bergabung dengan Partai Nacionalista, dan bersama dengan calon wakil presidennya Fernando Lopez, ia mengalahkan presiden Diosdado Macapagal dalam pemilu 1965. Marcos adalah presiden Filipina pertama yang terpilih untuk menjabat selama dua masa bakti berturut-turut secara penuh. Pada tahun 1972, ia mendirikan rezim otoriter yang memperbolehkannya tetap berkuasa hingga rezim tersebut dihapus pada 1981. Ia kemudian dilantik kembali pada tahun yang sama untuk menjabat masa bakti selama enam tahun yang diwarnai pengaturan politik yang tidak baik, masalah kesehatan, serta pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak militer dan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan. Pada tahun 1986, ia terpilih untuk keempat kalinya dalam sebuah pemilu yang diduga dipengaruhi kecurangan. Marcos akhirnya diturunkan dari jabatannya sebagai presiden dalam Revolusi EDSA, sebuah revolusi yang damai, pada tahun yang sama. Bersama dengan istrinya, Imelda, Marcos melarikan diri ke Hawaii. Di sana ia dituduh menggelapkan uang dan ditemukan bersalah. Marcos meninggal dunia di Honolulu, Hawaii pada tahun 1989 akibat penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru. Marcos pertama dikebumikan di Hawaii, sejak itu dimakamkan di kuburan besar indah di Kota Batac, provinsi Ilocos Utara. |
3.Mobutu Sese Seko: $5 miliar (Zaire, 1965-97)
Nama aslinya adalah Joseph Desire Mobutu. Nama ini kemudian ia ubah sendiri. Makna dari nama barunya adalah: sangat agung. Itu karena ia menganggap dirinya ksatria kukuh yang dikaruniai keterampilan, kecerdikan, dan sanggup memenangkan segala macam pertempuran. Mobutu lahir di Lisala, Kongo Belgia, sebagai bagian dari suku Ngbandi. Namun, citra namanya jauh sekali dengan perangainya semasa 30 tahun pemerintahannya. Buktinya, hanya empat tahun setelah bergabung dengan pergerakan nasionalis (1956), ia sudah beranimengkudeta pemerintahan nasionalis Patrice Lumumba, dan menyatakan diri sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Kongo. Pada tahun 1965, Letjen Mobutu lagi-lagi mengkudeta Presiden Kasavubu. Hal ini dilakukan semata-mata karena ia tidak senang ada ketegangan antara Presiden Kasavubu dan Perdana Menteri Moise Tschombe. Mobutu lalu mendeklarasikan diri sebagai penguasa Kongo hingga lima tahun kedepan. Sejak saat itu ia menjadi orang yang paling berkuasa di Kongo hingga dipilih secara resmi pada tahun 1970. Mobutu Sese Seko, 1973. Setahun kemudian, Mobutu mengganti nama Kongo menjadi Republik Zaire. Ia lalu melancarkan kampanye anti-Eropa dan gencar mengkampanyekan budaya Afrika. Tak lama setelah itu giliran namanya yang ia ganti. Dari Joseph Desire Mobutu menjadi Mobutu Sese Seko. Mobutu menasionalisasi semua perusahaan Eropa yang ada di negaranya. Selebihnya ia mengusir semua jenis usaha yang dibangun oleh orang-orang Eropa. Langkah seperti itu tanpa disadarinya menyebabkan ekonomi Zaire turun drastis dan terseok-seok. Maka dari itu pada tahun 1977 ia ditekan untuk memperbolehkan perusahaan-perusahaan Eropa berbisnis kembali di Zaire. Sadar bahwa pemerintahannya nyaris lumpuh, ia kemudian meminta bantuan Belgia untuk memerangi pemberontak di Provinsi Katanga. Beruntung, Mobutu masih bisa memepertahankan posisinya. Ia terpilih lagi menjadi presiden Republik Zaire. Sayang, kedudukan yang ia raih justru menempatkannya ke lingkaran kleptokrasi. Ia bekerja sedikit untuk negara namun mengeruk harta negara sebanyak-banyaknya. Pada tahun 1984, kekayaannya ditaksir mencapat empat miliar dollar Amerika Serikat. Uang itu disimpan di Swiss. Memasuki dekade 1990-an ekonomi Zaire tak kunjung membaik dan sejumlah perlawanan diarahkan kepadanya. Salah satu kelompok anti-Mobutu dari kalangan pemerintahan dipimpin oleh Laurent Monsengwo dan Etienne Tshisekedi. Perlawanan ini membuat kesehatan Mobutu terganggu. Berkali-kali ia harus menjalani perawatan di Eropa. Di saat terlemah itulah kelompok Tutsi mulai menguasai wilayah timur Zaire. Kelompok Tutsi tak lain adalah oposan lama Mobutu. Perlawanan dilakukan karena Mobutu pernah memberi keleluasaan pada etnis Hutu utnuk melakukan genosida (pembunuhan massal) di Rwanda tahun 1994. Kelompok Tutsi sendiri sempat terdesak keluar dari Zaire, namun bisa kembali bergerak ke negeri ini. Dari wilayah timur Zaire mereka lalu melakukan serangan ke wilayah barat melalui Kinshasa demi menggulingkan Mobutu. Serangan ini didukung Presiden Rwanda, Paul Kagame. Tanggal 16 Mei 1997, kelompok pemberontak Tutsi dan kelompok lain anti-Mobutu berkoalisi membentuk Kelompok Pembebasan Demokrasi Kongo-Zaire. Mereka berhasil menguasai Kinshasha. Laurent-Désiré Kabila muncul sebagai presiden baru. Nama Zaire dikembalikan lagi menjadi Kongo atau Republik Demokrasi Kongo. Mobutu mengungsi ke Togo. Setelah itu tinggal di Rabat, Maroko. Pada tahun yang sama (1997) ia meninggal karena penyakit kanker prostat yang merupakan salah satu penyakit yang ia derita. |
0 komentar:
Posting Komentar